Ilustrasi: Suami istri mestinya menjalani pernikahan dalam relasi yang setara.
Bogor, Indonesia (News Today) - Jarum jam menunjukkan pukul 21.30. Namun, suasana di sebuah perkampungan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, terasa begitu sepi. Warga yang tinggal di kampung itu sebagian besar sudah kembali ke tempat peraduannya. Hanya terlihat beberapa pemuda yang nongkrong di sebuah warung kopi yang masih terjaga.
Sesekali tukang ojek melintas di jalanan selebar enam meter yang sebagian aspalnya sudah terkelupas. Malam itu begitu cerah, padahal beberapa hari sebelumnya, wilayah Bogor kerap diguyur hujan deras. Namun, malam itu hawa dingin kawasan Puncak terasa begitu menusuk tulang.
Untuk menghalau rasa dingin, sebuah jaket tebal cukup untuk menghangatkan tubuh ini. Di sebuah vila yang letaknya cukup jauh dari jalan besar, samar-samar terdengar musik berirama padang pasir.
Penasaran dengan alunan musik itu, Warta Kota mencoba untuk lebih dekat dengan sumber suara. Mendekati lokasi vila itu, sebut saja villa T, suara musik yang dimainkan menggunakan organ tunggal semakin menusuk telinga. Suara musik yang cukup keras itu bercampur teriakan-teriakan kecil dari sekelompok pria dan beberapa wanita.
Diiringi alunan musik khas Timur Tengah, mereka dengan gembiranya menari-nari sambil menggoyangkan tubuhnya. Beberapa wanita yang berbaur dengan pria itu tak mau kalah lincahnya. Bahkan, sesekali wanita itu memeragakan goyangan yang cukup erotis. Untuk menambah semangat pesta malam itu, tak lupa mereka menyiapkan minuman beralkohol.
Pesta yang dilakukan sekelompok pria Timur Tengah dengan beberapa wanita pribumi itu sudah menjadi pemandangan rutin setiap malam di daerah tersebut. Memasuki bulan Mei hingga Agustus, hampir sebagian dari vila-vila di Desa Tugu Utara dan Selatan, dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Cisarua, selalu dipenuhi pendatang asal Timur Tengah.
Dengan tujuan berlibur, mereka datang dari berbagai tingkatan ekonomi dan profesi. Mulai dari karyawan swasta, pengusaha, atlet, hingga tentara. Tak sedikit warga Timur Tengah sengaja memboyong keluarganya hanya untuk menghabiskan rupiah dan riyal yang mereka bawa di kawasan berhawa sejuk itu. Banyaknya turis Timur Tengah ke kawasan Puncak. disebut warga sebagai "Musim Arab".
Kedatangan warga Timur Tengah ke daerah itu tentu mendapat tempat istimewa bagi masyarakat sekitar. Yang paling gampang adalah pemilik vila.
Bagi warga, turis Timur Tengah memberi berkah tersendiri. Tentunya tak hanya pemilik vila, kedatangan orang-orang bertubuh tinggi besar dan berhidung mancung dengan kulit kuning itu ke wilayah mereka juga memberikan penghasilan lumayan.
Sebut saja pengusaha rental, restoran, atau pemilik penukaran mata uang asing dan termasuk mereka yang membuka usaha minimarket. Kedatangan turis Timur Tengah ke wilayah Puncak tentunya tidak sebatas berlibur. Ada tujuan lain mengapa mereka jauh-jauh datang dari negerinya ke kawasan Puncak. Salah satunya berkencan dengan wanita pribumi.
Namun, bagi warga Timur Tengah, berkencan dengan wanita yang bukan istrinya bukanlah perkara gampang. Untuk urusan ranjang, mereka tetap berpikir mengenai sah atau tidaknya hal yang mereka lakukan dengan wanita itu di atas ranjang. Oleh karena itu, untuk melegalkan urusan ranjang dan tidak mau dianggap berzina, muncullah istilah "kawin kontrak".
Hanya berbekal uang mahar antara Rp 2,5 juta dan Rp 3 juta, plus adanya saksi dan amil--sebutan untuk penghulu, sahlah bagi mereka untuk tidur dengan wanita-wanita tersebut. Padahal bagi warga pribumi, model perkawinan seperti itu jelas tidak sah. Betapa tidak, amil yang disiapkan untuk mengawinkan warga Timur Tengah dengan wanita pribumi adalah amil palsu yang cukup dibayar Rp 250.000.
"Bagaimana kami bisa menyiapkan amil asli kalau tiba-tiba malam-malam orang Arab itu minta dikawinkan karena mereka ingin berkencan dengan wanita di sini. Ya akhirnya ngambil amil cabutan saja. Kadang tukang ojek atau siapa pun," ujar salah satu pemuda di daerah Desa Tugu Utara yang kerap diminta untuk menyiapkan amil.
Pemuda yang sudah banyak mengenyam seluk beluk kehidupan warga Timur Tengah di kawasan Puncak itu mengatakan, praktik kawin kontrak adalah fakta dan sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Namun katanya, sampai saat ini sulit membuktikan adanya praktik kawin kontrak tersebut.
"Tak ada kertas secuil pun untuk menunjukkan bahwa pasangan Timur Tengah dengan seorang wanita pribumi sudah melakukan kawin kontrak. Jadi, secara hukum, hal itu sulit dibuktikan. Namun, fakta di lapangan, praktik itu besar-benar ada," katanya.
Lebih lanjut, pemuda itu mengatakan bahwa wanita yang menjadi pelaku kawin kontrak berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat, seperti Bogor, Cianjur, Sukabumi, termasuk Garut, dan sejumlah daerah lainnya di Jawa Barat. Mereka umumnya sengaja didatangkan agen atau calo atas pesanan turis Timur Tengah itu. Para turis, kata pemuda itu, berasal dari berbagai negara di Timur Tengah, salah satunya didominasi warga Arab Saudi.
Mereka, kata pria yang seharinya-harinya mengelola sebuah homestay di kawasan Puncak ini, datang ke kawasan Puncak, tepatnya di daerah Warung Kaleng di Desa Tugu Utara itu, berasal dari berbagai tingkatan ekonomi. "Hampir 80 persen mereka orang hebat di negaranya, dan 20 persennya warga biasa saja," ujarnya.
Cara kawin kontrak yang dilakukan turis Timur Tengah yang memiliki tingkat perekonomian menengah ke atas di negaranya, kata pemuda itu, berbeda dengan turis Timur Tengah biasa. Sebelum melakukan kawin kontrak, biasanya mereka akan memerintahkan pemandu untuk meneliti lebih dalam mengenai identitas si wanita yang akan dikawini.
"Misalnya tempat tinggalnya di mana, orangtuanya siapa, pekerjaannya apa, termasuk silsilah keluarganya. Mereka tidak sembarangan memilih wanita untuk dijadikan istri kontrak jika status keluarganya tidak jelas," ujarnya.
Berbeda dengan turis Arab yang merupakan warga biasa di negeranya, mereka cenderung tidak mempersoalkan status keluarga si wanita yang akan dikawin kontrak. Maka dari itu, tak heran jika kebanyakan wanita yang dikawin kontrak oleh turis semacam ini lebih banyak merupakan pekerja seks komersial (PSK).
"Mereka misalnya butuh berkencan untuk dua jam saja, tanpa memedulikan identitas si wanita. Saat itu juga kawin kontrak dilakukan, walaupun kemudian setelah selesai berkencan, wanita itu kembali diceraikan," ujar pemuda itu.
Periksa KTP
Untuk turis Arab yang memiliki jabatan atau penghasilan memadai di negaranya, perbedaan identitas di KTP antara si wanita dan wali nikah bisa membatalkan perkawinan itu. Pemuda itu menceritakan, pernah suatu hari seorang turis asal Arab Saudi membatalkan rencana kawin kontraknya dengan seorang wanita setelah mengetahui identitas wali nikah di KTP-nya tidak sama dengan si wanita yang akan dikawininya.
"Umumnya turis Arab yang berasal dari kalangan menengah ke atas di negaranya lebih selektif," kata pemuda itu.
Pemuda itu menambahkan, meskipun perkawinan kontrak terjadi, jangan berharap kalau proses pernikahan seperti itu sah. Kenapa? Karena selama ini orang yang mengawinkan atau amil lebih banyak palsu.
"Kadang tukang ojek jadi amil. Yang penting bisa meyakinkan si turis dan mengetahui tata cara mengawinkan orang," ujarnya.
Namun, bagi turis Arab, model kawin kontrak seperti itu tetap dianggap sah di mata mereka. Lebih jauh pemuda itu mengatakan, praktik kawin kontrak saat ini lebih banyak dilakukan di daerah asal wanita yang akan dikawininya. Misalnya di Cianjur atau Sukabumi.
"Lewat perantara pemandu, turis Arab itu dibawa ke wanita yang akan dikawininya di daerah Cianjur. Kemudian, di depan orangtua si wanita dan disaksikan saksi serta adanya amil, kawin kontrak pun dilaksanakan," ucapnya.
0 komentar:
Posting Komentar