KOMPAS.com - Sempatkan
waktu Anda untuk mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno selama
berkunjung ke Ende. Rumah beratap seng ini berada di daerah Nggobe,
tepatnya di Jalan Perwira, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sinilah
Anda dapat meresapi bagaimana Bung Karno menjalani keseharian hidupnya
bersama keluarga diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
selama 4 tahun (1934-1938). Di balik perjuangannya selama pengasingan,
Ende telah membenamkan kesan mendalam bagi Bapak Pendiri Bangsa
Indonesia ini.
Ende telah terkenal ke mancanegara jauh sebelum
Taman Nasional Komodo dikunjungi wisatawan. Akan tetapi, saat Bung Karno
datang ke sini dahulu, Ende ibarat kota mati dengan jalanan kecil belum
beraspal. Saat itu rumah penduduk pun masih jarang dan wilayahnya masih
berupa hutan, kebun karet, dan tanaman rempah-rempah. Belum ada
pelabuhan laut apalagi transportasi udara di Ende saat itu.
Rumah
yang menghadap ke timur di Pelabuhan Ende ini awalnya milik Haji
Abdullah Ambuwaru yang kemudian dikontrak oleh Bung Karno. Luas
bangunannya 9 x 18 meter persegi, memiliki tiga kamar yang berderet di
sisi kanannya. Satu kamar tidur untuk Bung Karno, satu kamar untuk Ibu
Inggit bersama Ibu Amsih, dan satu kamar lagi untuk ruang tamu.
Di
belakang rumah ini juga ada sebuah ruangan yang sering digunakan Bung
Karno untuk salat dan bermeditasi. Masih membekas dua telapak tangan
Bung Karno ketika ia bersujud. Ada juga sebuah sumur yang airnya masih
dapat digunakan hingga sekarang.
Tidak banyak yang berubah dari
bentuk asli rumah yang dibangun tahun 1927 itu, kecuali saja atap
sengnya yang diganti karena bocor. Rumah ini sejak tahun 1954 resmi
dijadikan museum dan setelah Indonesia merdeka, Bung Karno sudah tiga
kali berkunjung, yaitu tahun 1951, 1954 dan 1957. Tahun 1952 rumah ini
pernah dijadikan Kantor Sosial Daerah Flores dan tempat bersidang DPRD
Flores.
Di Rumah Pengasingan Bung Karno ini dapat Anda jumpai
beragam barang rumah tangga yang dahulu digunakan Bung Karno. Saat Anda
berkunjung disarankan Anda dipandu untuk mendapatkan penjelasan dan
kisah menarik di baliknya. Bapak Musa adalah seorang penjaga yang dapat
Anda sewa sebagai pemandu. Musa adalah cucu Abu Bakar, yaitu seorang
pemain sandiwara dari naskah tonil yang dibuat Bung Karno. Saat itu ada
47 anggota dari grup tonil Kelimoetoe yang dibentuk oleh Bung Karno.
Setelah mengisi buku
tamu dan membayar tiket Rp 2.500 maka Anda akan melewati pintu berdaun
ganda. Di ruang tamunya terdapat kursi rotan dan satu meja bundar yang
biasa Bung Karno gunakan untuk menjamu tamunya. Di dinding rumah
tergantung lukisan sosok Soekarno karya Affandi yang mulai pudar. Ada
pula lukisan Pura Bali yang dibuat Bung Karno tahun 1935. Beberapa foto
Bung Karno bersama keluarga dan teman-temannya terpajang juga.
Di
sebuah lemari kaca ada dua tongkat kayu yang biasa dibawa Bung Karno
dimana ujungnya berkepala kera. Tongkat tersebut digunakan Bung Karno
apabila bertemu dengan Pemerintah Hindia Belanda. Bung Karno tidak
membalas hormat penguasa Hindia Belanda dengan anggukan tetapi dengan
mengarahkan tongkatnya yang berkepala kera. Cara ini sebagai simbol
bahwa sifat penjajah hanya bisa dihargai oleh binatang dan tidak oleh
sesama manusia.
Dalam lemari kaca juga tersimpan naskah tonil
karya Bung Karno dalam map berwarna oranye. Selama di Ende, Bung Karno
menghasilkan 13 naskah tonil, diantaranya adalah: “Dokter Setan”, “Aero
Dinamik”, “Jula Gubi”, dan “Siang Hai Rumbai”. “Rahasia Kelimutu”,
“Tahun 1945”, “Nggera Ende”, “Amuk”, “Rendo”, “Kutkutbi”, “Maha Iblis”,
dan “Anak Jadah”. Naskah-naskah tonil tersebut digunakan Bung Karno
untuk mengobarkan semangat rakyat merebut kemerdekaan. Pementasan
dramanya saat itu dilakukan di Gedung Imakulata, milik Paroki Katedral
Ende yang lokasinya berada di Jalan Irian. Sayang, kondisinya saat ini
rusak parah.
Sangat disayangkan, sebagian naskah tonil karya Bung
Karno saat ini tidak jelas keberadaannya. Yang tersimpan di Ende hanya
ada 7 naskah salinan dari Ibrahima Umarsjah (almarhum), yaitu mantan
asisten sutradara Bung Karno.
Bung Karno Merenung di Bawah Pohon Sukun
Pernahkah
Anda membaca buku biografi Bung Karno karya Cindy Adams yang berjudul,
“Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”? Dalam buku itu ditulis
bahwa Bung Karno gemar merenung di bawah pohon sukun (Artocarpus communis) yang menghadap ke laut.
Pohon
aslinya kini sudah tiada karena tumbang oleh angin. Kini, pohon itu
berganti dengan pohon sukun baru yang ditanam sejak 17 Agustus 1981
tepat pukul 9 pagi. Penanamannya melalui upacara dihadiri sekitar 40
orang teman Bung Karno yang pernah mendampinginya di Ende tahun 1934.
Pohon
sukun tersebut lokasinya 100 meter dari Rumah Pengasingan Bung Karno.
Tepatnya di Lapangan Perse (sekarang dinamakan Lapangan Pancasila). Oleh
sebagian masyarakat pohon tersebut dianggap keramat dan lebih dikenal
sebagai Pohon Pancasila.
Menurut cerita masyarakat, saat hari
panas maka Bung Karno sering duduk berteduh di bawah pohon sukun
tersebut sambil memandangi daun sukun yang bergigi lima buah dan
bersudut lima pada setiap sisinya.
Di bawah pohon itu Bung Karno
merenungkan dasar negara Indonesia yang kelak menjadi Pancasila.
Pemikiran Bung Karno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat
itu, Bung Karno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara. Tidaklah salah
apabila Ende disebut sebagai Rahim Pancasila. Ende telah memberi
pengaruh besar bagi Bung Karno, terutama kerukunan hidup antarumat
beragama di Ende.
0 komentar:
Posting Komentar