Banda Aceh, Indonesia (News Today) - Petang itu, matahari terlihat masih tinggi di atas langit Banda Aceh, Provinsi Aceh. Sebagai provinsi paling barat di negeri ini, senja memang selalu datang paling terakhir.
Sinar sang surya sore itu terlihat memantul keemasan di sudut besi berkarat di geladak kapal raksasa yang menjulang tinggi.
Belasan orang terlihat mengelilingi badan kapal, melihat-lihat, menyentuhnya, lalu berdecak kagum dan sesaat terperangah bingung.
Beberapa orang lainnya terlihat sibuk bergaya dan mencoba mengabadikan gambar menggunakan kamera dengan latar belakang si kapal raksasa.
Tidak ada yang istimewa pada kapal tersebut, sekilas sama saja dengan kapal-kapal lainnya yang berlayar di lautan lepas.
Kapal tersebut berbadan besar, mempunyai desain konservatif yang sederhana, terlihat sangat kokoh, luas, dan tampak begitu muram.
Namun jika diperhatikan dengan saksama, kita akan menemukan keanehan pada kapal yang di salah satu sisi bagian bawahnya terdapat tulisan dengan huruf besar: PLTD Apung.
Betapa tidak aneh jika kapal tersebut berdiri tegak menunjukkan keperkasaannya bukan di lautan biru, tetapi di tanah lapang yang di sebagian sisinya ditumbuhi rerumputan.
Di sekeliling kapal tersebut hanya ada permukiman penduduk meskipun tidak begitu padat.
Kapal tersebut berada di Kampung Punge Blang Cut Banda Aceh sebuah lokasi yang berjarak sekitar empat kilometer dari lautan.
Lalu, bagaimanakah kisahnya hingga kapal tersebut bisa "terperangkap" di daratan, sementara ia adalah "penguasa" lautan?
Kapal tersebut merupakan PLTD Apung yang memiliki berat 2.600 ton.
Si raksasa tersebut adalah milik Pertamina yang berasal dari Kalimantan.
Kapal tersebut dikirim ke Banda Aceh sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan arus listrik di Banda Aceh, Aceh Besar, dan daerah sekitarnya.
Sebelumnya dua daerah ini sering kali mengalami pemadaman listrik bergilir akibat kekurangan pasokan arus dari listrik yang dihasilkan oleh PLTD Lueng Bata.
Sebelum kapal itu ada di posisi sekarang, PLTD Apung ditambatkan di Pelabuhan Ulee Lheue.
Namun peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004 telah menyeret PLTD Apung ini dari Pelabuhan Ulee Lheue hingga ke Kampung Balng Cut dengan jarak sekitar empat kilometer.
Kini PLTD Apung sudah tidak dapat berfungsi lagi dan terdiam bisu di salah satu sudut kota banda Aceh.
Sebagai "saksi" terjadinya gelombang dahsyat tsunami kapal tersebut dijadikan sebagai salah satu situs sejarah.
Tentu sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengenang tragedi gelombang tsunami dahsyat yang menyapu sejumlah wilayah di Provinsi Aceh.
Menurut cerita warga, banyak orang yang selamat karena ikut naik kapal tersebut saat terjadinya bencana tsunami.
Jika berkunjung ke Banda Aceh, maka tidak lengkap rasanya jika tidak menyaksikan kapal raksasa, saksi tsunami yang "binasa".
ne gambar museum tsunami kk.. bukan gambar kapal.. trus yang selamat di kapal cuma sekitar 5 orang kk.. berita nya kok ngawur ya kk.. kk kopas yach..
BalasHapus