(News Today) - Proses persalinan ternyata bisa menimbulkan trauma seperti halnya bencana alam, peperangan atau tindak kekerasan. Jika tidak cepat ditangani kondisi kejiwaan ini bisa menyebabkan gangguan stres pasca trauma (PTSD).
Stres pasca trauma salah satunya dialami oleh Lucy Lord (23) pasca melahirkan putra pertamanya Oliver. Ia mengalami proses persalian yang berat karena mengalami pre-eklampsia.
Selain itu ia juga mengalami perdarahan dan kehilangan dua liter darah karena plasenta janin tidak bisa dikeluarkan. Beruntung Oliber lahir dalam kondisi sehat dengan berat sekitar 3,6 kg.
Ia harus tinggal di rumah sakit selama seminggu untuk perawatan. Namun beberapa minggu setelah persalinan ia sering merasa cemas, takut mati dan mengalami serangan panik. Oleh dokter ia didiagnosa menderita PTSD.
PTSD umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwanya. Biasanya berkaitan dengan orang yang selamat dari bencana atau peperangan. Namun PTSD yang disebabkan karena proses persalinan sangat jarang.
Di Inggris diperkirakan 50.000 para ibu habis melahirkan menderita PTSD setiap tahunnya, tetapi banyak yang tak terdiagnosa. Hasil penelitian terbaru menyebutkan PTSD mungkin semakin meningkat karena sepertiga ibu baru mengatakan proses persalinan "menyeramkan".
"Para ibu baru itu mengkhawatirkan hidup mereka atau bayinya," kata profesor Debra Creedy, psikolog dari Australia yang mensurvai 1000 ibu baru. "Trauma pasca persalinan bisa berdampak panjang pada perempuan," katanya.
Meski PTSD pasaca persalinan mirip dengan depresi pasca persalinan namun sebenarnya itu adalah kondisi yang berbeda. Gejala depresi pasca persalinan sama dengan penyakit depresi. Dalam kasus yang berat si ibu bisa melukai bayinya atau bersikap obsesif pada kesehatan bayinya.
Sementara itu dalam stres pasca trauma, biasanya pasien akan mengalami serangan panik, mimpi buruk, mengalami flashback, serta kesedihan.
Maureen Treadwell, pendiri Birth Trauma Association meyakini jumlah wanita yang menderita PTSD terus meningkat. Salah satu pemicunya adalah tekanan sosial dan fisik pada calon ibu.
"Studi menunjukkan bayi yang lahir saat ini semakin besar sehingga berakibat pada sulitnya proses persalinan. Para ibu juga semakin gemuk sehingga risiko menderita komplikasi persalinan semakin tinggi," kata Treadwell.
Ia menambahkan kegemukan juga beresiko tinggi menderita diabetes yang bisa meningkatkan risiko komplikasi.
Faktor pemicu lainnya menurut Treadwell adalah usia ibu. "Kebanyakan wanita kini memilih menjadi ibu di usia matang saat hidupnya sudah mapan," katanya.
Harapan yang tidak realistis, seperti setiap ibu pasti bisa mengurus bayinya atau bisa kembali langsing dalam waktu singkat, juga bisa menimbulkan tekanan tersendiri dan memicu gangguan emosional.
Gangguan emosional yang tidak tertangani tersebut bisa mengendap lama dan mengganggu relasinya dengan orang lain. "Mereka bisa menjadi gampang marah dan cemas tanpa menyadari penyebabnya," kata Dr.Susan Ayers, psikolog.
PTSD juga akan mengganggu pola asuh ibu terhadap anaknya. "Beberapa ibu menjadi over-protektif dan cemas berlebihan pada anaknya. Ada juga ibu yang mengatakan tidak punya perasaan apa pun pada anaknya," kata Ayers.
Bayi yang terpapar hormon stres dalam jumlah tinggi saat di kandungan biasanya akan memiliki perilaku agresif atau pencemas.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Health, Ayers mengatakan perempuan yang menerima sedikit dukungan dari tenaga kesehatan selama dan setelah proses persalinan beresiko tinggi menderita PTSD, terlebih jika proses persalinannya berat.
Kebanyakan wanita yang menderita PTSD tidak memerluka pengobatan karena kondisi ini akan membaik sendiri. Tetapi jika gejala PTSD mengganggu kehidupan sehari-hari, maka dokter akan memberikan terapi yang sesuai, misalnya konseling.
Stres pasca trauma salah satunya dialami oleh Lucy Lord (23) pasca melahirkan putra pertamanya Oliver. Ia mengalami proses persalian yang berat karena mengalami pre-eklampsia.
Selain itu ia juga mengalami perdarahan dan kehilangan dua liter darah karena plasenta janin tidak bisa dikeluarkan. Beruntung Oliber lahir dalam kondisi sehat dengan berat sekitar 3,6 kg.
Ia harus tinggal di rumah sakit selama seminggu untuk perawatan. Namun beberapa minggu setelah persalinan ia sering merasa cemas, takut mati dan mengalami serangan panik. Oleh dokter ia didiagnosa menderita PTSD.
PTSD umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwanya. Biasanya berkaitan dengan orang yang selamat dari bencana atau peperangan. Namun PTSD yang disebabkan karena proses persalinan sangat jarang.
Di Inggris diperkirakan 50.000 para ibu habis melahirkan menderita PTSD setiap tahunnya, tetapi banyak yang tak terdiagnosa. Hasil penelitian terbaru menyebutkan PTSD mungkin semakin meningkat karena sepertiga ibu baru mengatakan proses persalinan "menyeramkan".
"Para ibu baru itu mengkhawatirkan hidup mereka atau bayinya," kata profesor Debra Creedy, psikolog dari Australia yang mensurvai 1000 ibu baru. "Trauma pasca persalinan bisa berdampak panjang pada perempuan," katanya.
Meski PTSD pasaca persalinan mirip dengan depresi pasca persalinan namun sebenarnya itu adalah kondisi yang berbeda. Gejala depresi pasca persalinan sama dengan penyakit depresi. Dalam kasus yang berat si ibu bisa melukai bayinya atau bersikap obsesif pada kesehatan bayinya.
Sementara itu dalam stres pasca trauma, biasanya pasien akan mengalami serangan panik, mimpi buruk, mengalami flashback, serta kesedihan.
Maureen Treadwell, pendiri Birth Trauma Association meyakini jumlah wanita yang menderita PTSD terus meningkat. Salah satu pemicunya adalah tekanan sosial dan fisik pada calon ibu.
"Studi menunjukkan bayi yang lahir saat ini semakin besar sehingga berakibat pada sulitnya proses persalinan. Para ibu juga semakin gemuk sehingga risiko menderita komplikasi persalinan semakin tinggi," kata Treadwell.
Ia menambahkan kegemukan juga beresiko tinggi menderita diabetes yang bisa meningkatkan risiko komplikasi.
Faktor pemicu lainnya menurut Treadwell adalah usia ibu. "Kebanyakan wanita kini memilih menjadi ibu di usia matang saat hidupnya sudah mapan," katanya.
Harapan yang tidak realistis, seperti setiap ibu pasti bisa mengurus bayinya atau bisa kembali langsing dalam waktu singkat, juga bisa menimbulkan tekanan tersendiri dan memicu gangguan emosional.
Gangguan emosional yang tidak tertangani tersebut bisa mengendap lama dan mengganggu relasinya dengan orang lain. "Mereka bisa menjadi gampang marah dan cemas tanpa menyadari penyebabnya," kata Dr.Susan Ayers, psikolog.
PTSD juga akan mengganggu pola asuh ibu terhadap anaknya. "Beberapa ibu menjadi over-protektif dan cemas berlebihan pada anaknya. Ada juga ibu yang mengatakan tidak punya perasaan apa pun pada anaknya," kata Ayers.
Bayi yang terpapar hormon stres dalam jumlah tinggi saat di kandungan biasanya akan memiliki perilaku agresif atau pencemas.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Health, Ayers mengatakan perempuan yang menerima sedikit dukungan dari tenaga kesehatan selama dan setelah proses persalinan beresiko tinggi menderita PTSD, terlebih jika proses persalinannya berat.
Kebanyakan wanita yang menderita PTSD tidak memerluka pengobatan karena kondisi ini akan membaik sendiri. Tetapi jika gejala PTSD mengganggu kehidupan sehari-hari, maka dokter akan memberikan terapi yang sesuai, misalnya konseling.
0 komentar:
Posting Komentar