Setelah terkatung-katung beberapa lama, pemerintah tampaknya benar-benar akan menaikkan harga bahan bakar minyak/BBM (premium) pada April 2012 nanti.
Tahun lalu pemerintah sebetulnya sudah membentuk tim kajian dari tiga perguruan tinggi yang diketuai Anggito Abimanyu, yang salah satu hasil kajiannya berisi rekomendasi kenaikan harga premium dan sebaiknya dilakukan pada April 2011.
Entah dengan pertimbangan apa, hasil kajian itu tidak dipakai sampai hari ini. Setelah itu, pemerintah pada akhir 2011 dan awal 2012 malah mengeluarkan wacana yang kurang masuk akal, yakni membatasi konsumsi BBM dan melakukan konversi ke pemakaian gas.
Kebijakan ini dianggap kurang masuk akal karena membutuhkan pengawasan yang sangat ketat (untuk kebijakan penghematan) dan persiapan yang panjang/matang (untuk konversi gas). Setelah kritik bertubi-tubi diteriakkan berbagai pihak, akhirnya pemerintah mengeliminasi dua wacana tersebut.
APBN dan Biaya Birokrasi
Diskursus kenaikan harga BBM ini sebetulnya sudah dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat. Mereka mafhum atas dua situasi yang dialami Indonesia: cadangan minyak yang menipis (sehingga kita telah lama menjadi importir) dan harga minyak internasional yang merosot. Mayoritas rakyat juga paham bahwa subsidi minyak sebagian besar secara langsung dinikmati oleh golongan berpendapatan menengah atas.
Bahkan, jika dibandingkan dengan masa lalu, sekarang terdapat fenomena yang jarang ditemui: parlemen/DPR mendorong agar pemerintah menaikkan harga BBM. Ini jelas hal yang menarik, sebab sejak dulu parlemen paling kritis terhadap rencana kenaikan harga BBM.
Memang sampai kini masih ada beberapa anggota parlemen/partai politik yang menolak rencana tersebut, tapi jumlahnya tidak signifikan sehingga hampir pasti kebijakan kenaikan BBM disetujui parlemen. Hal ini tentu merupakan kemewahan situasi yang dimiliki pemerintah saat ini. Sungguh pun begitu, terdapat dua kenyataan yang perlu dipertimbangkan pemerintah secara masak.
Pertama, pemakluman rakyat terhadap rencana kenaikan BBM berdiri di atas realitas pemerintah yang gagal memberikan hak hidup layak bagi warganya. Contoh yang paling kasatmata adalah buruknya infrastruktur dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Di luar Jawa gampang ditemui sarana jalan dalam kondisi rusak berat sehingga mengganggu pergerakan kegiatan ekonomi, termasuk distribusi komoditas pangan.
Bahkan tidak perlu jauh-jauh, di Provinsi Banten anak SD harus menyeberangi sungai, melewati hutan, dan melintasi kubang bekas air hujan untuk bisa menjangkau sekolah akibat tidak ada jembatan dan jalan. Tiap tahun diberitakan pengangguran terbuka turun, tapi sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor informal (sekira 65 persen). Mereka dibiarkan mencari penghidupan sendiri akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja formal yang laik.
Kedua, salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah demi menyelamatkan fiskal. Argumennya, tidak mungkin APBN diminta menomboki subsidi minyak sampai Rp200 triliun, padahal itu hanya dinikmati golongan masyarakat kaya. Sampai titik ini, alasan itu bisa dicerna dan diterima dengan baik. Masalahnya, jika dibaca keseluruhan anggaran fiskal pemerintah, terdapat dua fakta mencemaskan berikut ini.
Pertama, sekira 40 persen belanja APBN habis untuk belanja pegawai dan barang. Pertumbuhan untuk kedua pos pengeluaran itu rata-rata sangat fantastis, menembus 22,5 persen setiap tahunnya (padahal pertumbuhan total belanja negara hanya di kisaran 14 persen). Intinya, sebagian besar anggaran habis untuk biaya birokrasi, bukan pembangunan/pelayanan masyarakat.
Kedua, kebocoran APBN tidak mengalami perbaikan sampai kini. Kasus-kasus korupsi yang terungkap secara menunjukkan betapa APBN menjadi instrumen pemupuk kekayaan penyelenggara negara.
Menolak Cek Kosong
Di luar hal di atas, pemerintah mesti berjibaku merumuskan kebijakan kompensasi yang lebih kredibel dibandingkan dengan dana kompensasi seperti yang diterapkan selama ini. Pemerintah punya pengalaman kenaikan harga minyak pada 2005 lalu di mana dana kompensasi yang diberikan (melalui skema Bantuan Langsung Tunai/BLT) ternyata tidak mampu menurunkan jumlah penduduk miskin seperti yang dianalisis lembaga kajian ekonomi terkemuka di Indonesia.
Alih-alih menurunkan jumlah orang miskin, kenaikan harga minyak pada 2005 lalu justru meningkatkan jumlah orang miskin sekira 3,5 juta jiwa. Hal itu terjadi karena pemerintah terlalu percaya dengan statistik bahwa kenaikan harga minyak sekian ribu rupiah hanya akan meningkatkan inflasi sekian persen. Faktanya, inflasi yang terjadi bisa dua sampai tiga kali lipat dari yang dikalkulasi.
Pola ini hampir pasti akan terjadi sekarang, sebab pergerakan ekonomi secara keseluruhan masih sama. Fakta lain yang tidak bisa disembunyikan adalah ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam/SDA, termasuk minyak. Rakyat tidak bodoh untuk mengerti bahwa SDA itu dikuras dan dirampok oleh segelintir pelaku ekonomi, baik asing maupun domestik, dengan sistem bagi hasil yang sangat tidak adil.
Khusus minyak dan gas, sekira 70 persen eksplorasi ladang minyak dan gas dilakukan oleh korporasi asing dalam bingkai praktik kontrak yang tidak adil. Pola yang sama terjadi pada SDA lainnya seperti batu bara, emas, perak, tembaga.
Kenyataan ini tentu mengusik rasa keadilan yang terpatri di dada rakyat. Tidak mungkin mereka diminta maklum dengan kenaikan harga minyak, sementara mereka tahu dengan pasti adanya praktik pengisapan SDA yang sedemikian masif oleh pelaku asing dan para kompradornya.
Jadi, tulisan ini secara pragmatis memberi pemakluman terhadap pemerintah untuk menaikkan harga minyak, tapi tentu tidak dengan cek kosong. Paling penting, pemerintah mesti menyiapkan skema kompensasi yang lebih matang sehingga bisa menyelamatkan kehidupan kaum miskin. Selanjutnya, infrastruktur dan lapangan kerja harus didesain secara layak sehingga rakyat dapat menjalani hidup secara bermartabat.
Berikutnya, APBN tidak boleh dibiarkan dipakai untuk mengongkosi birokrasi dan sumber korupsi. Anggaran negara harus difungsikan sebagai instrumen pembangunan dan pelayanan publik yang bersih dari praktik koruptif. Terakhir, praktik perampokan SDA harus dihentikan dan digunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.
Jika ini semua dilakukan, rakyat dengan besar hati akan dapat menerima kenyataan bahwa harga minyak harus naik karena situasi yang pelik seperti sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar